MBAH KYAI SHOLEH DARAT, beliau adalah Wali Alloh besar pada paruh kedua abad 19 dan awal abad 20 di tanah Jawa. Mbah Shaleh Darat dari Semarang, Jawa Tengah ini hidup sezaman dengan dua Waliyullah besar lainnya: Syekh Nawawi Al-Bantani dari Banten, dan Mbah Kholil Bangkalan, di Madura, timur pulau Jawa. Dua orang muridnya kelak menjadi amat terkenal dan mempengaruhi Islam di Indonesia, melalui organisasi yang mereka dirikan: Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, yang dikenal
dengan sebutan Mbah Soleh Darat, hidup sezaman dengan Syekh Nawawi
Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura, lahir di
Kedung Cemlung, Jepara pada tahun 1235 H./1820 M., dan wafat di Semarang
pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H. atau 18 Desember 1903 M. Ketiga
ulama yang berasal dari Jawa itu juga sezaman dan seperguruan di Mekah
dengan beberapa ulama dari Patani diantaranya adalah Syekh Muhammad Zain
bin Mustafa Al-Fathani (Lahir 1233 H./1817 M., wafat 1325 H./1908 M.).
Mereka juga seperguruan di Makkah dengan Syekh Amrullah (Datuk Prof. Dr.
Hamka) dari Minangkabau, Sumatera Barat.
Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji
Muhammad Shalih ibn Umar Al-Samarani. pemberian nama Darat
diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai
utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa.
Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung,
Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah
Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
JEJAK PENDIDIKAN MBAH SALEH DARAT
KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam
penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Ayahnya
yaitu KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro
dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai
mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid
Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in,
Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Sesudah itu beliau di-bawa ayahnya ke Semarang untuk belajar kepada beberapa ulama, diantaranya adalah
Kyai Haji Muhammad Saleh Asnawi Kudus,
Kyai Haji Ishaq Damaran,
Kyai Haji Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang),
Kyai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan
Kyai Haji Abdul Ghani Bima.
Ayahnya Kyai Umar sangat berharap agar anaknya kelak menjadi ulama yang
berpengetahuan sekaligus ber-pengalaman, karena pengetahuan tanpa adanya
pengalaman adalah kaku, sebaliknya berpengalaman tanpa pengetahuan yang
cukup adalah ibarat tumbuh-tumbuhan yang hidup di tanah yang gersang,
karena seseorang yang mempunyai pengalaman dan penge-tahuan yang
banyaklah yang diperlukan oleh masyarakat Islam sepanjang zaman. Oleh
hal itulah ayahnya mengajaknya merantau ke Singapura.
Beberapa tahun kemudian, bersama ayahnya, beliau berangkat ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji sekaligus tinggal disana untuk mendalami
berbagai ilmu kepada beberapa ulama di Makkah pada zaman itu,
Diantaranya adalah:
Syekh Muhammad Al-Muqri,
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syekh Ahmad Nahrowi,
Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi,
Syekh Zahid,
Syekh Umar Asy-Syami,
Syekh Yusuf Al-Mishri dan
Syekh JamAl-(Mufti Madzhab Hanafi).
Setelah beberapa tahun berkelana mencari ilmu, tibalah saatnya beliau
diberikan izin untuk mengajar di Makkah, banyak muridnya yang berasal
dari Tanah Jawa dan Melayu. Setelah menetap di Makkah selama beberapa
tahun untuk belajar dan mengajar, Mbah Saleh Darat terpanggil hatinya
untuk pulang ke Semarang karena bertanggung jawab dan ingin ber-khidmat
terhadap tanah tumpah darah sendiri. “Hubbul wathan minAl-Iman” yang
artinya cinta tanah air sebagian dari iman. Itulah yang menyebabkan
beliau harus pulang ke Semarang.
MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Sebagaimana tradisi ulama dunia Melayu terutama ulama Jawa dan Patani
pada zaman itu, bahwa setelah pulang dari Makkah harus mendirikan pusat
pengajian berupa Pondok Pesantren. Mbah Saleh mendirikan pondok
pesantren di pesisir kota Semarang. Sejak itulah beliau dipanggil orang
dengan gelar Kyai Saleh Darat Semarang. Terkenal sebagai pendiri
pesantren nama beliau semakin berkibar di seantero Jawa, terutama Jawa
Tengah
Diantara murid-murid beliau yang menjadi ulama tersohor adalah:
1. KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama)
2. Syekh Mahfudz At-Turmusi (Ulama Besar Madz-hab Syafi’i yang ahli dalam bidang hadits).
3. KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)
4. KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang).
5. KH. Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo)
6. KH. Sya’ban (Ulama Ahli Falak di Semarang)
7. KH. Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watuco-ngol Muntilan, Magelang).
8. Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol kebanggaan kaum wanita Indonesia.
Yang mengagumkan dari kesekian murid beliau, ada tiga orang yang
disahkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu KH. Ahmad Dahlan
(1868–1934 M.), dengan Surat Keputusan Pemerintah RI, No. 657, 27
Desember 1961, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari (1875–1947 M.), dengan
Surat Keputusan Presi-den RI, No. 294, 17 November 1964, Raden Ajeng
Kartini (1879–1904 M.), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No. 108, 12
Mei 1964.
Pemikiran dan Ajaran Beliau
Kyai Shaleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia
adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya
terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil
al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan
penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat
islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan
yang selamat.
Menurut Shaleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan
yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah
Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Beliau juga mengajak masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Shaleh
Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu.
Beliau berkata “Inti sari Alquran adalah dorongan kepada umat manusia
agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan
akhirat”.
Kiai Shaleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu
pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau
keyakinan sesat. Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah
al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai
ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham
dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan
bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang
dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti
Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid
tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh
diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan
orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan
syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan
berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah
religius beliau.
Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya
ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan
semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja
keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT.
Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan
manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir
kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir
hayatnya.
GORESAN PENA MBAH SALEH DARAT
Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang
ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan
menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk
centang-perenang bahasa Arab. Ini terlihat dari karangan-karangan beliau
dimana pada setiap prolog selalu tertulis,“buku ini dipersembahkan
kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan
Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan
dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn
Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap
orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat
paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji.
Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk
melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni,
pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak
mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari
diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang
telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.
Di antara karyanya adalah:
1- Kitab Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyah li al-’Awam, kandungannya membicarakan ilmu-ilmu syariat untuk orang awam;
2- Kitab Munjiyat, tentang tasawuf, merupakan petikan perkara-perkara
yang penting dari kitab Ihya’ `Ulum ad-Din karangan Imam al-Ghazali.
3- Kitab al-Hikam, juga tentang tasawuf, merupakan petikan
perkara-perkara yang penting dari pada Kitab Hikam karangan Syeikh Ibnu
Atha'illah al-Askandari.
4- Kitab Latha’if at-Thaharah, tentang hukum bersuci.
5- Kitab Manasik al-Hajj, tentang tata cara mengerjakan haji.
6- Kitab ash-Shalah, membicarakan tata cara mengerjakan sembahyang.
7- Tarjamah Sabil al-`Abid `ala Jauharah at-Tauhid, isinya mengenai
akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, mengikut pegangan Imam Abul Hasan
al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
8- Mursyid al-Wajiz, kandungannya membicarakan tasawuf atau akhlak.
9- Minhaj al-Atqiya’, juga tentang tasawuf dan akhlak.
10- Kitab Hadis al-Mi’raj, tentang perjalanan suci Nabi Muhammad s.a.w
untuk menerima perintah sembahyang lima kali sehari semalam.
11- Kitab Asrar as-Shalah, kandungannya membicarakan rahasia-rahasia shalat.
Hampir semua karya Mbah Saleh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan
menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi), hanya sebagian kecil yang
ditulis dalam Bahasa Arab bahkan sebagian orang berpendapat bahwa orang
yang paling berjasa menghidupkan dan menyebarluaskan tulisanpegon
(tulisan Arab Bahasa Jawa) adalah Mbah Saleh Darat Semarang.
Karamah Beliau
Sebagai Wali Allah Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah.
Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali
terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (HAMIM JAZULI).
Meski meninggal di bulan Ramadhan, Haul Mbah Shaleh Darat diperingati
setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di kompleks pemakaman
Bergota, Semarang.
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki
menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil.
Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu
baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada
Mbah Shaleh Darat. Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah
Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh
Darat.
Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah
Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah
Belanda. Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia
mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu.
Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan
karamahnya di depan orang.
Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.
Riwayat pertemuan Mbah Sholeh dengan RA Kartini sebagai awal langkah penulisan Tafsir Qur'an dalam Bahasa Jawa
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun
maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai
kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam
bahasa Jawa yang saya pahami.”. (RA Kartini)
Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari
kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah
Mbah Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa.
Menurut catatan RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan
saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya
tentang arti sebuah ayat Qur’an.
Biografi RA Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati
Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah
Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25
tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam
bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di
ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar
bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah
karena sudah bisa dipingit.
Surat Curhat Galau RA Kartini
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang
umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku
beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat
mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun,
agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti
Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa
yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang
dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris,
tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa
perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku
mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku
apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini
teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari
Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut
feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru
mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit
dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah
kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu
sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar
dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.
Takdir,mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi
dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat,
yang juga pamannya.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA
Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah
Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat
al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini
tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan
mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi
kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui
Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna
surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela.
Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah.
Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al
Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa
kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk
melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena
menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui
artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang
orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan
ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab
gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman,
tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab
ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah
dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat
menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun
maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai
kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam
bahasa Jawa yang saya pahami.”
{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari
sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan,
(penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata
“Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door
Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan
menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku
kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat
Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu
luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak
selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanantransformasi spiritual.
Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat
Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu
benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu
menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama
sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini
kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja
membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Kyai Shaleh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at Wage tanggal 28
Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum
“Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun.
Wallahu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar