Nama asli beliau adalah Muhammadun, diperkirakan lahir
sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur
ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau,
dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya bernama Nyai
Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai
Malichah.
Sejak kecil Mbah Ma’shum telah dikirim ke beberapa
pesantren untuk mendalami ilmu agama, di antaranya kepada Kyai Nawawi
Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun Sarang, Kyai Abdus Salam
Kajen, Kyai Idris Jamsasren Solo, Kyai Dimyati Termas, Kyai Hasyim
Asy’ari Jombang dan Kyai Kholil Bangkalan. Di Mekkah beliau berguru
kepada Syekh Mahfudz al-Turmusi dari Termas.
Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma’shum telah diketahui secara
kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur.
Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke Bangkalan, Mbah
Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam.
Kata Mbah Kholil, “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang ke sini.”
Begitu Mbah Ma’shum datang, yang saat itu usianya sekitar
20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah
Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40
hari.
Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah
kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah
Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil
memanggilnya dan didoakan dengan doa sapujagad.
Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter,
beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang
sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
Mbah Ma’shum menikah dua kali – nama istri pertama ada
beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama
Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren
Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang
terkenal di tingkat nasional.
Mbah Masum Mimpi Bertemu Rasullullah di Stasiun Bojonegoro
Sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat
menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi
pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti.
Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk
mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji
kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua.
Mbah Masum bermimpi bertemu Rasulullah saat tidur di
Stasiun Bojonegoro. Beliau kemudian bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan
setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Sejak itu hidup Mbah Masum
berubah.
Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu
Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar
meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat.
Mimpi itu terjadi di beberapa tempat – di stasiun
Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul
yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan
kecuali menyebarkan ilmu).
Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan
setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi
bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan
pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala
kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang
biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah
amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi
ditafsirkan.
Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan
istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu
ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn
Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan.
Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at,
Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah
Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan
sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.
Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi
haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan
Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk
ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali
duduk.
Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah
selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan
pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat.
Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus
mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan
aman kembali. Mbah Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif
langsung dalam pendidikan santrinya.
Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang
diajarkan terus-menerus berulang-ulang – artinya jika kitab itu khatam,
maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran
al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn
Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.
Dua tahun lagi mati
Dalam mengajar santri Mbah Ma’shum amat disiplin dan
istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karamah.
Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya
terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi
kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih
Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai
Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.
Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung
membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai
organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak
keturunannya tidak mengikuti NU.
Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak
kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan
doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah
al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan
bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun
beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat.
Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi,
menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan
kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap
pengabdian ini sebagai laku tarekatnya.
Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari
Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin
(mencintai kaum fakir miskin).”
Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau
guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji
Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia
mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya
menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU.
Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang
mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci
Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat
berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.”
Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma’shum terpaksa melakukan
perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang diincar
hendak dibunuh oleh PKI. Mbah Ma’shum wafat pada 28 April 1972 (14
Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara
pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan
terakhir.
Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi
partai politik dan pejabat pemerintah. Karamah Sebagaimana umumnya para
Wali Allah, Mbah Ma’shum juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan
dirinya akan meninggal. Ketika Kyai Baidhowi wafat pada 11 Desember
1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun lagi dirinya akan wafat –
pernyataan ini menjadi kenyataan.
Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah
Mbah Baidhowi, beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata,
“Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah lainnya adalah firasat yang tajam, mengetahui isi
pikiran orang. Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian
kedudukan spiritualnya. Dikisahkan bahwa suatu waktu seusai shalat
Dhuha, beliau dipijiti oleh santrinya yang bernama Ahmad hingga
tertidur. Mendadak di luar kamar terdengar ada tamu menyampaikan salam.
Ada sembilan orang tamu berwajah habaib, duduk melingkar di ruang tamu.
“Mbah Ma’shum ada?” tanya salah satu dari mereka. Oleh
Ahmad dijawab masih tidur, sambil menawarkan untuk membangunkannya.
“Tidak usah,” kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara satu sama lain
dengan bahasa yang aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu
berpamitan. Begitu para tamu beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil
Ahmad.
“Ada apa Mad?” Setelah dijelaskan, Mbah Ma’shum menyuruh
Ahmad memanggil tamunya itu. Namun dalam waktu sesingkat itu para tamu
itu sudah menghilang. Kemudian Mbah Ma’shum memberi tahu bahwa mereka
adalah Sunan Ampel dan 8 Wali lainnya.
Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati di kalangan
umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari
dua “Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz.
Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, “Mbah Masum
adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat
nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat
dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.
Subhanallah ... Inilah bagian dari kisah karomah Mbah
Ma’shum, semoga dengan kisah ini dapat bermanfaat dan mengambil
pelajaran dari karomah almarhum Mbah Ma’shum.
Wallahu a'lam bisshawab.
Alfatihah...
0 komentar:
Posting Komentar